TIMES SAMARINDA, SAMARINDA – “Healing dulu biar waras!” atau “nggak apa-apa, self reward kok” kalimat seperti ini pasti sering kita temui di media sosial belakangan ini. Dari unggahan di Instagram, media sosial X hingga video singkat di TikTok, istilah healing dan self reward menjelma jadi semacam jargon kekinian yang lekat dengan kehidupan anak muda.
Aktivitas yang tadinya dianggap biasa, seperti ngopi di kafe, belanja kecil-kecilan, atau liburan singkat, kini diberi label baru sebagai bentuk merawat diri. Fenomena ini membuat healing dan self reward bukan sekadar kata, melainkan gaya hidup yang melekat kuat.
Namun, ada pertanyaan yang layak kita renungkan: apakah healing dan self reward benar-benar lahir dari kebutuhan jiwa, atau sekadar ikut-ikutan tren konsumtif? Sebab, narasi tentang “menyayangi diri” kerap dibalut promosi iklan dan konten media sosial yang mendorong orang untuk membeli dan membelanjakan lebih banyak.
Artinya, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial dan psikologis yang dialami generasi muda dalam menghadapi tekanan hidup modern.
Secara harfiah, healing berarti proses pemulihan diri, baik tubuh maupun pikiran. Tetapi belakangan, istilah ini lebih populer digunakan untuk menyebut aktivitas rekreasi ringan: liburan singkat, jalan-jalan ke alam, atau sekadar menikmati waktu di tempat nyaman. Pergeseran makna ini menjadikan healing lebih identik dengan “jeda dari rutinitas” ketimbang penyembuhan yang sesungguhnya.
Sementara itu, self reward pada dasarnya adalah konsep memberi penghargaan kepada diri sendiri setelah bekerja keras atau berhasil mencapai sesuatu. Awalnya hal ini bisa diwujudkan lewat hal sederhana, seperti beristirahat lebih lama atau menikmati makanan favorit.
Namun, kini istilah self reward sering dilekatkan pada aktivitas konsumtif: belanja barang mewah, makan di restoran mahal, hingga liburan bergaya hedon. Pergeseran makna healing dan self reward ini tidak bisa dilepaskan dari budaya populer digital, di mana media sosial kerap menampilkan gaya hidup yang menghubungkan kebahagiaan dengan konsumsi.
Tak bisa dipungkiri, ada banyak faktor yang membuat tren ini cepat merebak. Tekanan kerja, beban studi, hingga ekspektasi sosial mendorong anak muda mencari jalan keluar dari stres. Lalu media sosial memperkuat tren ini dengan narasi populer seperti “treat yourself” atau “healing dulu biar waras” yang mudah ditiru.
Kultur konsumerisme juga ikut berperan. Iklan, promo e-commerce, hingga konten kreator yang menampilkan gaya hidup “wah” membuat healing dan self reward tampak wajar, bahkan wajib.
Bagi sebagian anak muda, aktivitas ini akhirnya bukan hanya cara melepas penat, melainkan juga simbol identitas dan strategi bertahan hidup di tengah kerasnya tekanan zaman.
Dari kacamata Bahasa dan Seni, fenomena ini menarik. Bahasa ternyata bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga pembentuk cara pandang dan perilaku sosial. Istilah asing seperti healing dan self reward yang digunakan begitu saja tanpa penerjemahan penuh menunjukkan adanya pergeseran budaya. Kata telah menjadi simbol yang membentuk persepsi tentang bagaimana seseorang harus merawat diri.
Di sisi lain, seni dan budaya populer juga ikut berperan. Healing divisualisasikan lewat foto estetik, musik menenangkan, atau video kreatif di media sosial. Semua ini bukan hanya hiburan, tetapi juga cara memperkuat makna baru dari healing dan self reward. Inilah bukti bahwa bahasa dan seni berjalan seiring membentuk kebiasaan sosial generasi muda.
Jika dipahami dengan bijak, healing dan self reward bisa menjadi solusi sehat. Healing dapat membantu menjaga kesehatan mental, memberi ruang jeda, sekaligus mengembalikan energi.
Self reward mendorong kita lebih menghargai diri, menumbuhkan motivasi, dan menjaga semangat agar tetap produktif. Dan yang penting, bentuknya tak harus mahal. Istirahat cukup, menekuni hobi, atau memberi hadiah kecil pada diri sendiri sudah cukup bermakna.
Meski begitu, risiko tetap ada. Healing kerap dijadikan alasan untuk perilaku boros, misalnya liburan mewah yang sebenarnya tidak perlu. Begitu pula self reward yang sering berubah menjadi pembenaran untuk konsumsi berlebihan. Jika terus berulang, pola ini bisa menimbulkan masalah keuangan, gaya hidup hedonis, bahkan ketergantungan pada validasi sosial.
Karena itu, healing dan self reward sebaiknya dimaknai lebih proporsional. Keduanya tidak selalu harus melibatkan uang. Healing bisa dilakukan dengan olahraga ringan, membaca buku, atau sekadar bercengkerama dengan orang terdekat. Self reward pun bisa diwujudkan dengan cara sederhana seperti menonton film favorit atau jalan santai bersama keluarga.
Healing dan self reward memang bisa menjadi solusi sehat untuk menjaga keseimbangan hidup, asalkan dilakukan dengan kesadaran. Sebaliknya, jika dijalani berlebihan, keduanya bisa menjebak dalam budaya konsumtif yang melelahkan, baik secara finansial maupun emosional.
Maka setiap kali muncul keinginan untuk healing atau memberi self reward, ada baiknya kita bertanya: apakah ini benar-benar kebutuhan jiwa, atau hanya ikut-ikutan tren? Jawaban jujur dari pertanyaan itu bisa menjadi kunci agar healing dan self reward tetap menjadi sarana merawat diri, bukan jebakan gaya hidup.
***
*) Oleh : Masduki Zakaria, Dosen Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Mulawarman Kalimantan Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |