TIMES SAMARINDA, SURABAYA – Usulan menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Dari perspektif sosiolog, usulan tersebut dinilai problematik dan sarat ketimpangan kekuasaan.
Tak hanya dinilai menyalahi hak individu, wacana itu juga dianggap mencerminkan bentuk kontrol negara atas tubuh masyarakat miskin.
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Prof Dr Bagong Suyanto Drs M Si, menjelaskan bahwa kebijakan semacam itu tidak semestinya diberlakukan secara paksa, apalagi dijadikan syarat untuk memperoleh hak dasar masyarakat.
“Vasektomi adalah hal yang boleh dilakukan, terutama untuk mengajak laki-laki berpartisipasi dalam program keluarga berencana. Tapi tidak tepat jika dijadikan syarat bansos. Pendekatannya bukan memaksa, apalagi mengancam, melainkan menyadarkan masyarakat terlebih dahulu,” ungkapnya, Senin (12/5/2025).
Prof Bagong menyoroti bahwa usulan vasektomi sebagai syarat bantuan sosial tidak bisa dilepaskan dari dimensi kekuasaan yang lebih besar.
Ia menjelaskan bahwa wacana ini dapat dianalisis melalui lensa biopolitik, yaitu konsep dalam ilmu sosial yang menyoroti bagaimana kekuasaan negara atau institusi mengontrol tubuh dan kehidupan biologis warganya.
“Konsep ini menjelaskan bagaimana negara tidak hanya mengatur kebijakan ekonomi atau politik, tetapi juga masuk ke ranah paling personal, yakni tubuh manusia yang seharusnya bersifat privat dan dilindungi,” ungkapnya.
Menurutnya, usulan itu dinilai mencerminkan bentuk relasi kuasa yang timpang. Negara seolah merasa memiliki hak untuk mengatur tubuh masyarakat miskin dengan dalih pemberian bantuan.
Pendekatan semacam itu dianggap berbahaya karena berpotensi menjadikan bansos sebagai alat kontrol terhadap kehidupan biologis warga.
Dari sisi psikososial, kebijakan semacam itu berpotensi menimbulkan tekanan dan beban mental pada warga penerima bantuan.
“Jika negara mengatur pilihan reproduksi, masyarakat akan merasa tertekan. Apalagi jika mereka berada dalam posisi ekonomi yang lemah dan tidak memiliki pilihan lain,” jelas Prof Bagong.
Ia pun menyarankan agar pengendalian penduduk tetap dilakukan dengan prinsip keadilan dan menghormati kebebasan individu. Menurutnya, pendekatan yang bersifat edukatif dan insentif lebih bisa diterima oleh masyarakat.
“Saya lebih setuju jika negara memberikan insentif dan melakukan sosialisasi yang menyeluruh. Edukasi dilakukan secara terus-menerus agar masyarakat benar-benar paham manfaat program KB. Selain itu, insentif dapat menjadi cara yang lebih adil untuk mendorong partisipasi, tanpa melanggar hak dasar warga atas tubuh,” katanya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sosiolog UNAIR Kritik Usulan Vasektomi sebagai Syarat Bansos
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |